Saya terlambat satu rokaat (atau rekaat?) pada suatu Sholat Maghrib. Pada waktu yang sama, Aca dan Juna menyusul dan berdiri di sebelah kiri. Saat itu bacaan imam sudah di penghujung Al Fatihah. Kami segera mengangkat tangan bertakbiratul ikram. Karena sudah terbiasa ikut sholat berjamaah, mereka juga lancar ikut mengucapkan kata ‘amiin’ di akhir bacaan Al Fatihah. Saya tidak mungkin memperhatikan mereka lagi.
Ketika sampai pada sujud, mungkin hidungnya tergelitik sesuatu, tiba-tiba saja Aca bersin keras-keras. Juna, yang bersujud di sebelah kanannya tertawa terbahak-bahak. Dan, astaghfirullaah…, tanpa dapat kukendalikan perhatianku terpecah dari kekhusyu’an. Perutku terguncang-guncang menahan geli mendengar deraian tawa Juna.
Saat imam dan jamaah lain sudah membaca salam kedua, saya melanjutkan satu rekaat lagi untuk membayar keterlambatan tadi. Mestinya ini juga berlaku bagi Aca dan Juna. Akan tetapi, apa yang terjadi? Mereka sudah hilang dari tempat duduknya. Artinya, mereka hanya sholat dua rekaat dari yang seharusnya tiga. Apa?! Sholat Maghrib hanya dua rekaat? Dan dibiarkan saja? Mungkin anda berpikir demikian.
Homo Ludens : Main Kepompong. (Dok. DPW LDII Sulteng)
Tunggu dulu. Jangan tergesa-gesa. Mereka berdua hanya anak kecil. Bahkan, terlalu kecil untuk mengerti bahwa mereka harus membayar ‘hutang’-nya. Usia mereka kurang lebih baru empat tahun. Dunianya masih seputar bermain-main. Dunia homo ludens. Bahkan, Rasulullah s.a.w. sendiri belum mewajibkannya untuk belajar sholat.
Anak seumuran itu,mau ikut ke masjid dan berdiri bersama dalam shaff,kemudian sholat berjamaah hingga usaimerupakan hal yang amat istimewa.
Sebagaimana diriwayatkan oleh Abdul Malik bin Rabii’ bin Saburah, Rasulullah s.a.w. bersabda :
“Perintahlah pada anak-anak untuk melaksanakan sholat ketika mereka berumur tujuh tahun…. “ (H.R. Abu Dawud, Kitabu Sholah).
Selain urusan yang sifatnya hablun minaallah, dia harus belajar (dan diajari) untuk berhablun minannaas, hubungan dengan sesama manusia, dalam wujud sosialisasi dan muamalah.
Bersosialisasi : Juna (R. Arjuna, 4 th) dalam pertandingan tarik tambang pada Agustusan 2013. (Dok. DPW LDII Sulteng)
Rasulullah mengajarkan kita untuk berbudi pekerti yang baik, serta mengajar budi pekerti kepada anak-anak kita :
“Tidak ada pemberian yang lebih baik dari orang tua kepada anaknya selain mengajari budi pekerti.” (H.R. Tirmidzi).
Dengan akhlaq yang baik, seperti sifat-sifat jujur, amanah, bekerja sama yang baik, rukun, kompak, bekerja keras dan hidup bersahaja, akan lebih memberikan manfaat bagi orang lain. Kita akan merasa aman berada di tengah-tengah orang seperti ini. Mereka tidak akan menimbulkan kesulitan bagi siapapun.
Selanjutnya, setelah dilengkapi ketaqwaan dan budi pekerti yang luhur, anak juga harus dididik mandiri. Mandiri dalam arti sesungguhnya : tidak minta-minta, tidak nyolong, tidak merampok, apalagi tidak korupsi.
Dalam Kitab Hadits Sunan Ibni Majah, diceritakan kisah tentang kemandirian yang diajarkan Rasululullah SAW (bahasanya sudah saya adaptasi supaya lebih mudah dicerna):
Seorang pria datang kepada Rasulullah meminta diberi makanan. Kemudian Rasul bertanya : Apakah ada sesuatu di rumahmu?
Pria itu menjawab : Ada, ya Rasulullah, sehelai baju dan sebuah tempat minum.
Rasul : Bawalah kemari.
Pria itu pulang dan segera kembali dengan membawa benda yang disebutkannya tadi. Lantas, Rasululullah menawarkan kepada para sahabat yang ada di situ. Benda-benda itu laku dua dirham setelah dua kali ditawarkan. Penawaran pertama sebelumnya tidak ada yang tertarik membelinya.
Dari penjualan itu, satu dirham diserahkan kepada si pria tadi untuk membeli makanan bagi keluarganya. Satu dirham yang lain oleh Rasulullah dibelikan sebuah kapak. Setelah membuat dan memasangkan tangkainya, sambil menyerahkan kapak itu kepada pria tadi, Rasulullah berkata : Kembalilah kepadaku lima belas hari kemudian.
Dan benar saja, setelah waktunya tiba, pria tadi melapor sambil membawa lima belas dirham hasil kerjanya!
Nah, sudah sejak lama diajarkan bahwa seseorang harus bisa menghidupi dirinya sendiri. Agar tidak terjadi kesulitan di belakang hari, orang tua mesti sudah mengajarkan hal itu sejak dini.
Saya teringat sebuah puisi yang tercantum dalam buku pelajaran Bahasa Indonesia saat masih di sekolah dasar dulu. Dalam buku itu terdapat ilustrasi berupa seorang pria tua bertopi jerami lusuh bertopang dagu dengan tatapan kosong. Benar-benar relevan dengan materi yang disajikan.
MENYESAL
Pagiku hilang sudah melayang
Hari mudaku sudah pergi
Sekarang petang datang membayang
Batang usiaku sudah tinggi
Aku lalai di pagi hari
Beta lengah di masa muda
Kini hidup meracun hati
Miskin ilmu, miskin harta
Ah, apa guna kusesalkan
Menyesal tua tiada berguna
Hanya menambah luka sukma
Kepada yang muda kuharapkan
Mengatur barisan di hari pagi
Menuju ke arah padang bakti
Mungkin, di antara kita ada yang terlanjur berada dalam posisi seperti dalam puisi karya A. Hasjmy di atas. Meski demikian, kita tidak akan pernah ingin anak-anak kita seperti itu juga, kan?
Wallaahu a’lam bis shawwab. (ay)