Selama ini Islam menjadi bulan-bulanan pers barat, dengan hampir tidak ada penyeimbang informasi negatif yang mereka sebarkan. Di sisi lain, peradaban Islam sudah mulai bergeser dari Jazirah Arab ke Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia.
Hal tersebut diungkap oleh Kepala DInas Komunikasi dan Informasi Provinsi Sulawesi Tengah, Drs. H. Mohammad Nizam, M.H, saat memberi sambutan pada pembukaan Pelatihan Jurnalistik dan Teknologi Informasi yang dihelat oleh DPW LDII Sulteng pada Senin, 1 Desember 2014. Menurut Nizam, Pelatihan Jurnalistik oleh DPW LDII ini sangat penting artinya bagi peningkatan kualitas dan perkembangan Islam, dan Kominfo sangat mengapresiasi kegiatan ini.
Sebelumnya, Ketua DPW LDII Sulteng Agussalim Sutan Marhum, S.Pd, menyampaikan bahwa acara ini diikuti oleh unsur pengurus DPW dan utusan dari seluruh DPD se-Sulteng. Pelatihan yang digelar di lantai dua Masjid Shirothol Mustaqim Jl. Zebra 35 Palu diikuti oleh 55 orang. Tujuannya adalah memberi keterampilan menulis berita maupun artikel bagi pesertanya. Selanjutnya, mereka diharapkan dapat memberitakan kegiatan-kegiatan organisasi di daerahnya, sehingga bisa menyajikan informasi mengenai LDII.
Dalam sambutannya itu, Agus menambahkan bahwa pelatihan ini juga bermanfaat untuk meningkatkan frekuensi dan mutu dakwah LDII di dunia maya. Hal ini ditekankannya untuk segera ditindaklanjuti mengingat jumlah pengguna internet di Indonesia menurut Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mencapai 107 juta orang.
Pelatihan yang rencananya diselenggarakan dua hari, Senin dan Selasa tanggal 1 dan 2 Desember 2014 itu mendatangkan instruktur dari Dewan Pimpinan Pusat (DPP) LDII, yaitu Drs. H. Hidayat Nahwi Rasul dan Ludhy Cahyana. (Ay)
Familiar, kan? Itu adalah peribahasa yang diajarkan guru kita dulu untuk dihafal, berikut dengan maknanya. Bahkan, untuk meyakinkan supaya mengingatnya, kita ‘diancam’ akan muncul saat ulangan. Maka, hafallah kita hingga kini, bahkan setelah bertahun-tahun lewat.
Meski mudah dihafal dan dimengerti, faktanya tidak mudah dipraktekkan. Dalam kehidupan sehari-hari kita sering mendengarkan perdebatan siapa salah – mana benar. Demikian sibuknya dengan itu, kita menjadi malas berkarya. Alih-alih memperbaiki yang sudah ada, kritik-kritik kita, mungkin tanpa sadar, justru bertujuan mencari popularitas. Agaknya, kearifan kita mulai menjadi taruhan karenanya, merosot : Menjadi tampak baik karena berhasil menunjukkan kejelekan orang. Na’udzubillaahi mindzalik!
Saya pernah punya seorang atasan yang menerima kiriman segepok cetakan sebuah slide dari atasannya. Isinya sebuah petunjuk ringkas tentang manajemen, yang beliau, atasan saya itu, sudah kenyang akan hal demikian. Lalu, ada atasannya yang lain lagi melihat dokumen itu. Setelah selintas membaca, dia bersungut dan mencibir,” Begini saja kok dikirim jauh-jauh. Semua juga sudah tahu!” Atasan saya diam saja. Setelah atasan yang tadi pergi, atasan saya berkata pada saya,”Meski sederhana begini, ini kan sebuah karya! Tidak semua orang sempat dan bersedia meluangkan waktu seperti ini…!”
Saya tersenyum dalam hati seraya ingin mengatakan bahwa kalimat itu tepatnya untuk atasan yang ngedumel tadi. Akan tetapi, tentu bukan hal mudah baginya mendebat langsung.
Saya merasa mendapat pelajaran dari hal itu. Antara lain :
Bahwa setiap karya itu layak dihargai. Baik itu berbentuk tulisan, ucapan/nasehat, kegiatan, fisik maupun intangible.
Bahwa ‘mengejek’ sebuah karya positif itu tidak mendatangkan kebaikan, akan tetapi justru menjadi point negatif. Kontra produktif, lah!
Sebaliknya, mengapresiasi sebuah karya, sesederhana apapun, justru menunjukkan kematangan berpikir.
Tentang hal-hal itu, ada tolok ukur mudah untuk mengetahui diri kita itu seperti apa. Ada beberapa pertanyaan yang bisa diajukan pada diri sendiri, misalnya :
Apakah kita tergolong orang baik? (parameternya nilai-nilai yang sudah diajarkan kepada kita).
Apakah anggota keluarga kita merasa nyaman dengan kehadiran kita di dekatnya?
Apakah teman-teman kita tampak gembira bertemu kita?
Apakah kita sering dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan teman kita? (Dalam berbagai aktivitas, misalnya kepanitiaan suatu acara, dsb).
Misalnya tetangga dan orang sekitar bisa terus terang, kira-kira, apa pendapat mereka tentang kita?
Dll, silahkan dicari sendiri.
Rasulullah mengajarkan kita untuk selalu husnudzon, jaga bicara, jaga tindakan. Sahabat Umar bin Khattab berpesan:
“Hisablah dirimu sebelum dihisab….!”
Kalimat itu ditujukan agar kita waspada dan bersiap diri sebelum menghadapi hisaban Allah. Dalam keseharian. Bisa kita petik pelajaran untuk selalu koreksi diri, ber-muhasabah. Karena, bagaimanapun tak pernah ada manusia yang sempurna. Jangan-jangan, ketika menunjuk satu kesalahan orang, bisa ada tiga kesalahan sebesar itu dalam diri kita. Itulah gurindam yang oleh guru kita diminta menghafalnya.
Saya terlambat satu rokaat (atau rekaat?) pada suatu Sholat Maghrib. Pada waktu yang sama, Aca dan Juna menyusul dan berdiri di sebelah kiri. Saat itu bacaan imam sudah di penghujung Al Fatihah. Kami segera mengangkat tangan bertakbiratul ikram. Karena sudah terbiasa ikut sholat berjamaah, mereka juga lancar ikut mengucapkan kata ‘amiin’ di akhir bacaan Al Fatihah. Saya tidak mungkin memperhatikan mereka lagi.
Ketika sampai pada sujud, mungkin hidungnya tergelitik sesuatu, tiba-tiba saja Aca bersin keras-keras. Juna, yang bersujud di sebelah kanannya tertawa terbahak-bahak. Dan, astaghfirullaah…, tanpa dapat kukendalikan perhatianku terpecah dari kekhusyu’an. Perutku terguncang-guncang menahan geli mendengar deraian tawa Juna.
Saat imam dan jamaah lain sudah membaca salam kedua, saya melanjutkan satu rekaat lagi untuk membayar keterlambatan tadi. Mestinya ini juga berlaku bagi Aca dan Juna. Akan tetapi, apa yang terjadi? Mereka sudah hilang dari tempat duduknya. Artinya, mereka hanya sholat dua rekaat dari yang seharusnya tiga. Apa?! Sholat Maghrib hanya dua rekaat? Dan dibiarkan saja? Mungkin anda berpikir demikian.
Homo Ludens : Main Kepompong. (Dok. DPW LDII Sulteng)
Tunggu dulu. Jangan tergesa-gesa. Mereka berdua hanya anak kecil. Bahkan, terlalu kecil untuk mengerti bahwa mereka harus membayar ‘hutang’-nya. Usia mereka kurang lebih baru empat tahun. Dunianya masih seputar bermain-main. Dunia homo ludens. Bahkan, Rasulullah s.a.w. sendiri belum mewajibkannya untuk belajar sholat.
Anak seumuran itu,mau ikut ke masjid dan berdiri bersama dalam shaff,kemudian sholat berjamaah hingga usaimerupakan hal yang amat istimewa.
Sebagaimana diriwayatkan oleh Abdul Malik bin Rabii’ bin Saburah, Rasulullah s.a.w. bersabda :
“Perintahlah pada anak-anak untuk melaksanakan sholat ketika mereka berumur tujuh tahun…. “ (H.R. Abu Dawud, Kitabu Sholah).
Selain urusan yang sifatnya hablun minaallah, dia harus belajar (dan diajari) untuk berhablun minannaas, hubungan dengan sesama manusia, dalam wujud sosialisasi dan muamalah.
Bersosialisasi : Juna (R. Arjuna, 4 th) dalam pertandingan tarik tambang pada Agustusan 2013. (Dok. DPW LDII Sulteng)
Rasulullah mengajarkan kita untuk berbudi pekerti yang baik, serta mengajar budi pekerti kepada anak-anak kita :
“Tidak ada pemberian yang lebih baik dari orang tua kepada anaknya selain mengajari budi pekerti.” (H.R. Tirmidzi).
Dengan akhlaq yang baik, seperti sifat-sifat jujur, amanah, bekerja sama yang baik, rukun, kompak, bekerja keras dan hidup bersahaja, akan lebih memberikan manfaat bagi orang lain. Kita akan merasa aman berada di tengah-tengah orang seperti ini. Mereka tidak akan menimbulkan kesulitan bagi siapapun.
Selanjutnya, setelah dilengkapi ketaqwaan dan budi pekerti yang luhur, anak juga harus dididik mandiri. Mandiri dalam arti sesungguhnya : tidak minta-minta, tidak nyolong, tidak merampok, apalagi tidak korupsi.
Dalam Kitab Hadits Sunan Ibni Majah, diceritakan kisah tentang kemandirian yang diajarkan Rasululullah SAW (bahasanya sudah saya adaptasi supaya lebih mudah dicerna):
Seorang pria datang kepada Rasulullah meminta diberi makanan. Kemudian Rasul bertanya : Apakah ada sesuatu di rumahmu?
Pria itu menjawab : Ada, ya Rasulullah, sehelai baju dan sebuah tempat minum.
Rasul : Bawalah kemari.
Pria itu pulang dan segera kembali dengan membawa benda yang disebutkannya tadi. Lantas, Rasululullah menawarkan kepada para sahabat yang ada di situ. Benda-benda itu laku dua dirham setelah dua kali ditawarkan. Penawaran pertama sebelumnya tidak ada yang tertarik membelinya.
Dari penjualan itu, satu dirham diserahkan kepada si pria tadi untuk membeli makanan bagi keluarganya. Satu dirham yang lain oleh Rasulullah dibelikan sebuah kapak. Setelah membuat dan memasangkan tangkainya, sambil menyerahkan kapak itu kepada pria tadi, Rasulullah berkata : Kembalilah kepadaku lima belas hari kemudian.
Dan benar saja, setelah waktunya tiba, pria tadi melapor sambil membawa lima belas dirham hasil kerjanya!
Nah, sudah sejak lama diajarkan bahwa seseorang harus bisa menghidupi dirinya sendiri. Agar tidak terjadi kesulitan di belakang hari, orang tua mesti sudah mengajarkan hal itu sejak dini.
Saya teringat sebuah puisi yang tercantum dalam buku pelajaran Bahasa Indonesia saat masih di sekolah dasar dulu. Dalam buku itu terdapat ilustrasi berupa seorang pria tua bertopi jerami lusuh bertopang dagu dengan tatapan kosong. Benar-benar relevan dengan materi yang disajikan.
MENYESAL
Pagiku hilang sudah melayang
Hari mudaku sudah pergi
Sekarang petang datang membayang
Batang usiaku sudah tinggi
Aku lalai di pagi hari
Beta lengah di masa muda
Kini hidup meracun hati
Miskin ilmu, miskin harta
Ah, apa guna kusesalkan
Menyesal tua tiada berguna
Hanya menambah luka sukma
Kepada yang muda kuharapkan
Mengatur barisan di hari pagi
Menuju ke arah padang bakti
Mungkin, di antara kita ada yang terlanjur berada dalam posisi seperti dalam puisi karya A. Hasjmy di atas. Meski demikian, kita tidak akan pernah ingin anak-anak kita seperti itu juga, kan?
Saya menyukai qiraah Imam Al Ghamidi. Suaranya ringan dan menenteramkan. Karena sering menyimaknya, sayapun condong meniru gayanya. Bahkan, rasanya, suara saya sudah mirip Pak Imam ini. Yang kenal saya, insya Allah, akan merasa geli, karena suara saya terlalu falls. Bukan serak-serak basah, tetapi, mungkin, basah-basah serak.
Saat itu musim rambutan. Entah dari mana asalnya, para penjual sudah berderet di sepanjang sisi jalan. Yang tidak manis mereka sebut rambutan biasa, yang manis disebut binjai. Barangkali saja rambutan itu ‘diimpor’ dari Binjai, sebuah kota di Sumatera Utara. Pasal kebenaran asal buah ini tidak saya ketahui sampai saat ini.
“Yang biasa lima ribu, yang binjai sepuluh,” kata ibu penjualnya. Karena saya mengurangi sebanyak mungkin asupan manis ke dalam tubuh, saya pilih yang pertama. Si ibu menyendok rambutan itu dengan wadah timbangannya. Saya tertegun dengan jarum yang berada di angka satu ons, meski wadah timbangan itu belum duduk di tempatnya. Sebelum sempat berpikir lebih jauh, buah-buah berbulu itu sudah teronggok di atas timbangan berkapasitas sepuluh kilogram itu. Jarumnya tepat di angka satu kilo.
Dalam perjalanan pulang, saya ingat tentang jarum tadi.
“Buk..,” kataku kepada isteri saya, “jangan dimakan dulu itu rambutan. Kita timbang dulu di rumah.”
Kami memang mempunyai sebuah timbangan serupa dengan milik penjual buah tadi. Di rumah, rambutan itu segera mendarat pada wadah di atasnya. Jarumnya bergerak dan bergetar di bawah angka 800 gram. Saya tekan-tekan timbangan itu dan jarumnya bergerak ke kanan kiri. Hasilnya tetap. Dia tidak mau berpindah dari angka 800 gram, bahkan kurang sedikit. Apa yang terjadi? Saya mencoba merekonstruksi kemungkinannya.
Saya menimbang wadah timbangan duduk di rumah tadi dengan timbangan digital. Beratnya 150 gram. Karena posisi jarum di tempat penjual tadi sudah di angka 100 gram saat tanpa wadahnya, maka dia akan pindah ke angka 250 saat wadah kosongnya dipasang. Ketika rambutan sudah diisikan di sana dan jarum menunjuk ke 1.000 gram, itu berarti berat rambutannya hanya 750 gram. Tenyata 800? Mungkin berat wadah timbangannya penjual itu hanya 100 gram, dan tidak 150 seperti yang saya punya. Asumsinya, timbangan saya berkapasitas 15 kg dengan wadah lebih besar.
Berarti minus puluh persen. Saya ber-husnudzon, insya Allah, penjualnya tidak sengaja.
Kasus kedua terjadi dengan buah jeruk di pasar. Saya kembali mengamati timbangannya. Kapasitasnya juga 10 kg. Di sini, jarum menunjuk di angka nol saat wadah tidak terpasang. Saya tiba-tiba suudzon,” Nanti kurang satu ons, nih…”
“Krrr…” per timbangan turut berbunyi. Angkanya berhenti di sekitar 1.100 gram. Tanpa basa basi lagi, penjual itu memasukkan buah-buah hijau itu ke kantung plastik dan menyerahkannya ke saya. Setengah detik kemudian dia sudah melayani pembeli lain. Di rumah? Ternyata pas sekilo. Artinya, si penjual jeruk tidak mencurangi saya, akan tetapi timbangannya berpotensi menimbulkan kekeliruan.
Kasus ketiga, kacang tanah. Jarum di angka nol meskipun wadah kosongnya nangkring di atasnya. Kacang diisikan hingga 1.000 gram, dibungkus, bawa pulang. Di rumah, beratnya hanya 900-an. Saya tekor lagi, satu ons.
Saya pernah berpikir timbangan saya yang bermasalah. Bisa jadi. Akan tetapi, saya sudah beberapa kali mengujinya dengan belanjaan kemasan pabrik seperti terigu, gula, dan sebagainya. Semua cocok-cokk!
Berarti, kemungkinannya, diduga, memang ada ketidakbenaran dalam timbangan beberapa oknum pedagang. Saya tidak hendak melakukan uji terhadap timbangan para pedagang itu. Tidak. Tugas itu menjadi tanggung jawab pemerintah melalui, dulu, Jawatan Metrologi. Diulang : METROLOGI. Bukan METEOROLOGI.
Jawatan ini bertugas, salah satunya, melakukan tera ulang terhadap semua jenis timbangan. Harapannya, tidak ada kecurangan yang dengan atau tanpa sengaja dilakukan oleh pemilik timbangan. Hasil akhirnya adalah transaksi yang fair dan adil. Akan tetapi, meski hardwarenya sudah bener, sedang si brainwarenya nyimpang, pekerjaan tera ulang tadi bisa kehilangan manfaat.
Ketika qiraah Pak Ghamidi sampai pada Surah Al Muthaffifiin, saya teringat kasus-kasus di atas. Sudah jauh-jauh hari Allah SWT mengingatkan kita untuk tidak berlaku curang dalam menimbang atau menakar.
“Celakalah (Neraka Wail) bagi orang yang mengurangi. Yaitu, orang-orang yang ketika menakar (bagi dirinya) minta dipenuhi (secara benar), dan ketika menakar atau menimbang untuk orang lain dia mengurangi.” (Q.S. Al Muthaffifiin : 1-3).
Itulah, insya Allah, salah satu alasan mengapa Islam harus tetap didakwahkan. Bahkan justru lebih mendesak kepada kaum muslimin itu sendiri.
Wallaahu a’lam bis shawwab.
Anas Y. Karnain
Wakil Ketua DPW LDII Prov. Sulawesi Tengah
Allah menciptakan kalian dari tanah, kemudian dari sperma (keturunannya), kemudian segumpal darah, (dan seterusnya) hingga kemudian mengeluarkan kalian berupa anak kecil (bayi). Kemudian kalian menjadi dewasa kemudian tua… (Q.S. Al Ghofar : 67)
Lansia. (Sumber : Google)
LDII Sulawesi Tengah – Beberapa kali melintasi Kota Palu, saya, dan anda juga, akan sering menjumpai bendera putih tertancap di tepi jalan. Kadang sebuah mukena, kadang juga selembar kain putih dari bahan apapun. Intinya sama, ada orang yang dipanggil menghadapNya. Meninggal dunia.
Dalam terminologi peperangan, mengibarkan bendera putih merupakan tanda menyerah. Sekaligus, pihak musuh jangan menyerang lagi. Bendera putih di jalan-jalan juga demikian.Tidak ada lagi beban tugas di dunia. Bahwa itu adalah tanda perjuangan sudah berhenti. Wujud nyata menyerah kepada kehendak Allah.
Bendera putih tanda ada kematian
(Sumber : Google)
Pada kesempatan lain, saya menyaksikan iring-iringan pengantar jenazah. Sirine ambulan yang nguing-nguing itu membuat hati merinding. Pembuka jalan membawa sepenggal tongkat yang ujungnya terlampir sehelai kain yang juga putih. Di belakang ambulan, pengendara motor memenuhi jalan. Tidak jarang, meskipun saya tidak setuju, mereka memenuhi badan jalan di sisi kanan melawan arus lalu lintas di depannya. Tujuannya satu, agar si jenazah segera sampai ke peristirahatan terakhir.
Dalam sebuah kisah yang diriwayatkan oleh Abu Naim. Hasan bin Ali r.a. menceritakan diskusi yang terjadi antara seorang sahabat bernamai Fudail bin Iyadh (F) dengan seorang pria (P).”
F : Berapa umur anda sekarang?
P : Enam puluh tahun.
F : Kalau sudah berjalan enam puluh tahun, berarti anda sudah hamper sampai (meninggal).
P : Wahai Aba Ali (F), Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun…
F : Tahukah anda, apa yang baru saja anda ucapkan?
P : Aku mengatakan, Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun.
F : Tahukah anda, apa maksud kat-kata itu?
P : Jelaskanlah padaku, wahai Aba Ali (F).
F : Anda berkata innaa lillaahi, artinya, anda berkata bahwa bagi Allah, anda adalah hamba, dan akan kembali kepada Allah. Barang siapa yang mengetahui bahwa dia adalah hamba Allah dan sesungguhnya kepada Allah dia dikembalikan, maka supaya mengetahui bahwa dia ‘dihentikan’*). Barang siapa yang mengetahui dia dihentikan, maka supaya mengetahui bahwa sesungguhnya dia akan ditanya. Barang siapa mengetahui bahwa dia nanti ditanya, maka supaya mempersiapkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu.
P : (Lalu), saya harus melakukan apa?
F : Sedikit (saja)!
P : Apa yang ‘sedikit’ itu?
F : Perbaikilah (amalan) pada sisa umur yang sedikit itu, maka semua dosa anda akan diampuni. (Sebaliknya), bila perbuatan anda jelek, maka dosa-dosa yang telah lewat akan dibongkar, ditambah dengan dosa hasil perbuatan masa-masa akhir anda.
Mengantar Jenazah (Sumber : Google)
Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, r.a., Rasulullah bersabda :
”Bercepatlah kalian dengan jenazah. (Karena), jika dia baik, itu akan mendekatkan dia pada kebaikan. Dan jika dia tidak termasuk yang baik (=jelek), engkau akan segera meletakkannya dari pundakmu. (H.R. Muslim, Kitabul Janaiz)”
Beberapa kali saya membayangkan, bila saya yang diusung dalam keranda itu, kalimat manakah yang berlaku bagi saya?
Sungguh bersyukur bila menjadi yang pertama. Berarti golongan orang iman yang diampuni Allah. Kelompok orang-orang yang bersih hati, husnudzon, bertaqwa, dan beramal shalih.
Semoga bukan golongan kedua. Golongan yang harus segera diletakkan karena hanya membuat pegal orang yang memikulnya. Golongan yang ketakutan masuk alam kubur karena terlalu banyak dosa dan kemungkaran. Diri yang dipenuhi rasa benci dan permusuhan. Jiwa yang dikipasi iblis dengan suudzon, prasangka buruk. Yang hubuddunya wa karahiyatul maut!!
Naudzu billaahi min dzaalik…!Wallaahu a’lam bisshawwab.*)‘Dihentikan’ untuk ditanya tentang perbuatannya selama hidup di dunia.