LDII Sulawesi Tengah – Pada suatu hari beberapa tahun lalu, saya dihubungi salah seorang teman yang juga pengurus DPW LDII Provinsi Sulteng. Setelah ‘assalamu ‘alaikum’, beliau langsung menanyakan golongan darah saya. Katanya, ada warga LDII yang tertimpa musibah dan membutuhkan donor darah golongan B. Selain itu beliau juga meminta informasi siapa saja yang bergolongan darah sama. Saya memang mempunyai daftar itu. Daftar golongan darah orang-orang yang bersedia mendonor bila sewaktu-waktu dibutuhkan. Jumlahnya tidak banyak. Sekitar lima puluhan, laki-laki dan perempuan.
Donor Darah. (Sumber : www.indofarma.co.id) |
Saya segera berada di gedung PMI di Jl. Kartini Kota Palu. Saat itu hari sudah malam. Sekitar pukul 21.00 wita. Ada juga beberapa orang keluarga dan teman-teman dekat korban. Salah satunya bertindik telinga. Bekas tindik, tepatnya. “Itu jaman nakal dulu, Mas. Waktu belum ikut ngaji..,” kata teman saya. Bagi saya, tentu saja aneh jika ada warga Lembaga Dakwah Islam Indonesia pakai tindik segala. Tidak lama kemudian kami diminta masuk ruangan bertulis :
“DILARANG MASUK SELAIN PENDONOR”
Pertama dilakukan pemeriksaan golongan darah. Bila tidak cocok, silahkan meninggalkan ruangan. Yang cocok, B, akan ada tes kedua. Saat akan diperiksa, saya menunjukkan kartu donor berwarna biru. Itu saya peroleh saat mendonor di Bandung dulu. Dengan itu saya bebas dari pemeriksaan pertama. Meskipun masing-masing kami tampak sehat dan baik-baik saja, tes berikutnya nanti bisa menunjukkan hasil berbeda. Tergantung kadar HBnya.
HB, Haemoglobin, adalah molekul protein pada sel darah merah yang berfungsi sebagai zat pengangkut oksigen dari paru-paru ke seluruh jaringan tubuh. Dari sana mereka membawa karbondioksida dari jaringan tadi ke paru-paru. Untuk menjadi pendonor, HBnya harus memenuhi standar tertentu yang disebut ‘cukup’. Hal itulah yang dibuktikan melalui tes kedua ini.
Bila diteteskan dalam larutan kuprisulfat gumpalan darahnya turun cepat seperti batu tenggelam, maka HBnya cukup. Silahkan mendonorkan darahnya. Akan tetapi, jika darah itu turun pelan-pelan atau bahkan tidak bisa tenggelam, berarti HBnya belum cukup. Dilarang mendonor. Termasuk bila gumpalan darah itu pecah menyebar.
Saya termasuk yang ‘melayang’. Darah dari ujung jari tengah yang diambil dengan blood lancet itu tak kunjung tenggelam. Saya terdepak keluar tanpa menyumbang darah. Untuk memperoleh HB yang cukup, kata pak petugas, diperlukan istirahat yang memadai.
“Sesungguhnya jasadmu punya hak untuk istirahat”
Hal ini, oleh Rasulullah SAW, sudah diingatkan sejak empat belas abad yang lalu. Ternyata saya, juga sebagian dari kita, termasuk yang suka mengabaikan hak tubuhnya sendiri. Astaghfirullaahal ‘adziim…
Pemuda berbekas tindik tadi malah ditolak sebelum diperiksa golongan darahnya. Apa pasal? Karena bertindik! Termasuk, bila ada yang bertato. Kalangan medis meragukan kesterilan peralatan yang digunakan untuk membuat tato dan tindik itu. Dikhawatirkan ada pencemaran virus dalam darah akibat proses tindik-menindik atau tato menato itu. Bila dipaksakan mendonor, dampaknya bisa menimpa pasien.
Saya lantas menemukan selarik benang merah peringatan Rasulullah lebih dari 1.400 tahun lalu tentang larangan dan dosanya bertato.
Siapakah yang menduga bahwa sabda Rasulullah saat itu berkait erat dengan perkara sepenting itu? Hanya dengan istirahat cukup, kita bisa menolong orang lain. Tanpa tubuh coreng-moreng tato atau bolong karena tindikan, kita berpeluang menyelamatkan selembar nyawa. Tentu saja dengan idzinNya.
Fa bi ayyi hadiitsin ba’dahuu yu’minuun… Wallaahu a’lam bisshawab.
Anas Y. Karnain Wakil Ketua DPW LDII Prov. Sulteng